Siang itu Khalifah Umar bin Khattab r.a dan para sahabatnya sedang duduk duduk membuat majelis. Mereka bergiliran menyampaikan perkara tentang permasalahan umat dan mencari solusi bersama. Tak ada sekat sedikitpun antara Khalifah Umar r.a dengan para sahabatanya. Tak ada protokoler kenegaraan, tak ada pengawal Khalifah dan tempat duduk mereka sama rata satu dengan yang lainnya. Selang beberapa saat kemudian ada tiga pemuda yang berpenampilan menarik dan tampan memasuki majelisnya. Setelah mengucap salam seorang diantara mereka berkata,” Kami berdua adalah bersaudara. Saat ayah kami sedang sibuk dengan pekerjaanya, dia dibunuh oleh pemuda ini, yang sekarang kami bawa kepada Amirul Mukminin untuk diadili. Hukumlah dia sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah.” Sejenak Khalifah Umar r.a mengamati orang yang ketiga dan memintanya untuk berbicara.
Pemuda yang tertuduh berkata“ Kejadian berlangsung tanpa seorangpun yang tahu, tapi Allah Maha Tahu atas segala sesuatu dan yang dikatakan orang ini adalah benar, saya yang bersalah atas kejadian ini dan saya menyesal atas peristiwa naas ini. Aku ini berasal dari dusun yang jauh dari kota Madinah. Aku datang ke sini untuk berziarah ke makam Rasullulah saw. Di pinggir kota, aku turun dari kudaku untuk berwudhu. Tanpa sepengetahuanku kuda yang aku bawa memakan ranting ranting pohon kurma yang melintangi tembok sebuah rumah. Segera aku tarik kudaku agar berhenti memakan ranting pohon kurma itu. Pada saat itu juga, seorang laki-laki tua yang sedang marah mendekatiku dengan membawa sebuah batu yang besar. Dia melemparkan batu ke kepala kudaku, dan kudaku langsung mati. aku sangat menyayangi kuda itu, aku kehilangan kendali diri. Aku mengambil batu itu dan melemparkannya kembali ke orang tersebut. Dia roboh dan meninggal. Jika aku ingin melarikan diri, aku dapat saja melakukannya, tetapi kemana? Jika aku tidak mendapatkan hukuman di dunia ini, aku pasti akan mendapatkan hukuman yang abadi di akhirat nanti. Aku tidak bermaksud membunuh orang itu, tetapi kenyataannya dia mati di tanganku. Sekarang Amirul Mukmini yang berhak mengadili aku.”
Setelah menyimak pembicaraan yang berlangsung Khalifah Umar r.a berkata, “Engkau telah melakukan pembunuhan. Menurut kitabullah engkau harus menerima hukuman yang setimpal dengan apa yang telah kau lakukan. Dan qishos adalah hukuman yang akan kamu terima.” Pemuda tertuduh itu berkata, “Kalau begitu, laksanakanlah hukuman itu. Tapi aku adalah pemegang amanah harta dari anak yatim dan akan aku serahkan bila mereka sudah dewasa. Aku menyimpan harta itu ditempat yang sangat aman dan hanya aku seorang yang tahu. Maka ijinkan aku mengurusi tanggunganku ini biar tidak ada lagi beban yang aku bawa ke akhirat kelak. Aku meminta ijin tiga hari.
Khalifa Umar r.a menjawab, “ Permintaanmu akan dipenuhi bila ada orang yang bersedia menggantikanmu dan menjadi jaminan untuk nyawamu”. Pemuda itu berkata, “ Sesungguhnya aku bisa saja melarikan diri dan menghindari hukuman ini tapi hatiku dipenuhi rasa takut kepada Allah , yakinlah bahwa aku akan kembali.” Khalifah Umar r.a menolak permohonan itu atas dasar hukum Kitabullah.
Pemuda itupun memandang kesegenap hadirin yang menghadiri majelis itu, wajah wajah para sahabat yang mulia dan penuh taqwa dan akhirnya ia memilih secara acak. Kemudian ia menunjuk Abu Dzar Al Ghifari r.a dan berkata, “Orang ini yang akan menjadi jaminanku”. Orang orang cukup terkaget dengan penunjukan itu. Abu Dzar Al Ghifari adalah sahabat terdekat Rasulullah SAW, seorang yang shaleh, taqwa, wara dan zuhud. Beliau disegani oleh penduduk Madinah dan sering menjadi inspirasi bagi orang banyak. Tanpa keraguan sedikit pun, Abu Dzar setuju untuk menggantikan pemuda itu.
Si tertuduh pun dibebaskan untuk sementara waktu. Pada hari ketiga, kedua penggugat itu kembali ke sidang Khalifah. Abu Dzar ada di sana, tetapi tertuduh itu tidak ada. Kedua penuduh itu berkata: “Wahai Abu Dzar, anda bersedia menjadi jaminan bagi seseorang yang tidak anda kenal. Seandainya dia tidak kembali, kami tidak akan pergi tanpa menerima pengganti darah ayah kami.”
Khalifah Umar r.a berkata: “Sungguh, bila pemuda itu tidak kembali, kita harus melaksanakan hukuman itu kepada Abu Dzar.” Mendengar kata-kata tersebut, setiap orang yang hadir di sana mulai menangis, karena Abu Dzar, orang yang berakhlak sempurna dan bertingkah laku sangat terpuji, merupakan cahaya dan inpirasi bagi semua penduduk Madinah.
Ketika hari ketiga itu mulai berakhir, kegemparan, kesedihan dan kekaguman orang-orang mencapai puncaknya. Tiba-tiba pemuda itu muncul. Dia datang dengan berlari dan dalam keadaan penat, berdebu dan berkeringat lalu berkata. “Aku mohon maaf karena telah membuat Anda khawatir, Maafkan aku karena baru tiba pada menit terakhir. Terlalu banyak yang harus aku kerjakan. Padang pasir sangatlah panas dan perjalanan ini teramat panjang. Sekarang aku telah siap, laksanakanlah hukumanku.”
Kemudian dia berpaling kepada kerumunan massa dan berkata, “Orang yang beriman selalu menepati ucapannya. Orang yang tidak dapat menepati kata-katanya sendiri adalah orang munafik. Siapakah yang dapat melarikan diri dari kematian, yang pasti akan datang cepat atau lambat? Apakah saudara-saudara berpikir bahwa aku akan menghilang dan membuat orang-orang berkata, Orang-orang Islam tidak lagi menepati ucapannya sendiri?”
Kerumunan massa itu kemudian berpaking kepada Abu Dzar r.a dan bertanya apakah ia sudah mengetahui sifat yang terpuji dari pemuda tersebut. Abu Dzar menjawab, “Tidak, sama sekali. Tetapi, saya tidak merasa mampu untuk menolaknya ketika dia memilih saya, karena hal itu sesuai dengan asas-asas kemuliaan. Haruskah saya menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tak ada lagi perasaan haru dan kasih sayang yang tersisa dalam Islam?”
Hati dan perasaan kedua penuduh itu tersentuh dan bergetar. Mereka lalu menarik tuduhannya, seraya berkata, “Apakah kami harus menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tiada lagi rasa belas kasihan di dalam Islam”
Akhirnya hukuma qishos tidak jadi dilaksanakan karena pihak penggugat sudah memberikan maafnya. Begitulah sikap orang orang generasi awal umat ini. Mereka sangat takut kepada Allah dan lebih memilih kesusahan didunia ini dari pada nanti susah diakhirat. Kekuatan ucapan dari seorang Abu Dzar Al Ghifari r.a muncul dari kesempurnaan iman dan taqwanya yang mendalam. Ia mengingatkan kembali kita bahwa Islam selalu mengedepankan kasih sayang seperti yang diajarkan oleh kekasihnya Rasulullah SAW. Semoga kita bisa mengambil ibroh dari kisah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon komentar yang membangun demi perbaikan Blog ini kedepan...
Sangat Disarankan untuk Memberikan Komentar yang Berbobot, Jelas, Padat dan sesuai serta relevan dengan Artikel dan Dilarang meninggalkan Link Hidup maupun Link Mati Pada Kolom Komentar, Komentar Yang Hanya : Thanks, Trims, Sip, Gan, Terima kasih dan Sejenisnya Tidak akan di Publikasikan. Terima Kasih.